Sabtu, 30 November 2013

Etika dalam Kantor Akuntan Publik (KAP)

Etika dalam Kantor Akuntan Publik

1.   Etika Bisnis Akuntan Publik
Etika profesional dikeluarkan oleh organisasi bertujuan untuk mengatur perilaku para angota dalam menjalankan praktek profesinya. Dalam menjalankan profesinya seorang akuntan di Indonesia diatur oleh suatu kode etik profesi dengan nama kode etik Ikatan Akuntan Indonesia yang merupakan tatanan etika dan prinsip moral yang memberikan pedoman kepada akuntan untuk berhubungan dengan klien, sesama anggota profesi dan juga dengan masyarakat. Selain itu dengan kode etik akuntan juga merupakan alat atau sarana untuk klien, pemakai laporan keuangan atau masyarakat pada umumnya, tentang kualitas atau mutu jasa yang diberikannya karena melalui serangkaian pertimbangan etika sebagaimana yang diatur dalam kode etik profesi. Kasus enron, xerok, merck, vivendi universal dan bebarapa kasus serupa lainnya  telah membuktikan  bahwa etika sangat diperlukan dalam bisnis. Tanpa etika di dalam bisnis, maka perdaganan tidak akan berfungsi dengan baik. Kita harus mengakui bahwa akuntansi adalah bisnis, dan tanggung jawab utama dari bisnis adalah memaksimalkan keuntungan atau nilai shareholder. Tetapi kalau hal ini dilakukan tanpa memperhatikan etika, maka hasilnya sangat merugikan.
Suatu organisasi profesi memerlukan etika profesional karena organisasi profesi ini menyediakan jasa kepada masyarakat untuk meneliti lebih lanjut mengenai suatu hal yang memerlukan penelitian lebih lanjut dimana akan menghasilkan informasi yang lebih akurat dari hasil penelitian. Jasa seperti ini memerlukan kepercayaan lebih serius dari mata masyarakat umum terhadap mutu yang akan diberikan oleh jasa akuntan. Agar kepercayaan masyarakat terhadap mutu jasa akuntan publik semakin tinggi, maka organisasi profesional ini memerlukan standar tertentu sebagai pedoman dalam menjalankan kegiatannya.
2.   Tanggung Jawab Sosial Kantor Akuntan Publik sebagai Entitas Bisnis
Gagasan bisnis kontemporer sebagai institusi sosial dikembangkan berdasarkan pada persepsi yang menyatakan bahwa bisnis bertujuan untuk memperoleh laba. Persepsi ini diartikan secara jelas oleh Milton Friedman yang mengatakan bahwa tanggung jawab bisnis yang utama adalah menggunakan sumber daya dan mendesain tindakan untuk meningkatkan laba mengikuti aturan main bisnis. Dengan demikian, bisnis tidak seharusnya diwarnai dengan penipuan dan kecurangan. Pada struktur utilitarian diperbolehkan melakukan aktivitas untuk memenuhi kepentingan sendiri. Untuk memenuhi kepentingan pribadi, setiap individu memiliki cara tersendiri yang berbeda dan terkadang saling berbenturan satu sama lain. Menurut Smith, mengejar kepentingan pribadi diperbolehkan selama tidak melanggar hukum dan keadilan atau kebenaran. Bisnis harus diciptakan dan diorganisasikan dengan cara yang bermanfaat bagi masyarakat.
Sebagai entitas bisnis layaknya entitas-entitas bisnis lain, Kantor Akuntan Publik juga dituntut untuk peduli dengan keadaan masyarakat, bukan hanya dalam bentuk “uang” dengan jalan memberikan sumbangan, melainkan lebih kompleks lagi.  Artinya, pada Kantor Akuntan Publik juga dituntut akan suatu tanggung jawab sosial kepada masyarakat. Namun, pada Kantor Akuntan Publik bentuk tanggung jawab sosial suatu lembaga bukanlah pemberian sumbangan atau pemberian layanan gratis. Tapi meliputi ciri utama dari profesi akuntan publik terutama sikap altruisme, yaitu mengutamakan kepentingan publik dan juga memperhatikan sesama akuntan publik dibanding mengejar laba.
3.   Krisis dalam Profesi Akuntansi
Krisis dalam Profesi akuntan publik di Indonesia diperkirakan akan terjadi dalam sepuluh tahun ke depan, disebabkan karena semakin minimnya SDM akibat kurangnya minat generasi muda terhadap profesi tersebut.
Berdasarkan data Ikatan Akuntan Publik (IAI), sedikitnya 75% akuntan publik yang berpraktek di Indonesia berusia di atas 55 tahun. Kondisi ini, tentunya akan mengancam eksistensi profesi akuntan publik di Tanah Air karena tidak ada regenerasi kepada kaum muda. Padahal, seiring dengan semakin berkembangnya pertumbuhan industri di Indonesia, jasa akuntan semakin dibutuhkan. Apabila keadaan ini tidak bisa diatasi, maka diperkirakan dalam sepuluh tahun ke depan, profesi akuntan terancam mati. Padahal semakin ke depan profesi ini akan sangat menjanjikan karena pesatnya pertumbuhan industri. Pelaksanaan ekonomi di negeri ini ditunjang fungsi akuntan publik oleh karena itupemerintah mendesak RUU Akuntan Publik guna segera disahkan DPR (Dewan Perwakilan Rakyat).
Melalui RUU akuntan publik ini, negara ingin mengatur peran dan bagaimana akuntan publik bekerja. Pasalnya, saat ini terjadi ketimpangan dalam dunia akuntan publik. Dari 16 ribu perusahaan yang selalu diaudit shatiap tahun, 70 persennya hanya diaduit oleh 4 akuntan publik. Sisanya lebih dari 400 akuntan publik dan 600 orang akuntan bekerja.
Undang Undang itu juga mengatur bagaimana profesi akuntan itu bisa mendapatkan perhatian dan pembinaan, mulai dari ijin, menentukan standar akuntansi juga mengawasi kode etik.Izin akuntan publik tetap dari pemerintah, dan kemudian nantinya akan ada sebuah komite yang dibentuk yang terdiri dari perwakilan pemerintah, asosiasi, dan emiten yang akan mengawasi dan membina dalam pelaksanaan pekerjaan akuntan publik.
Dengan undang-undang ini juga diharapkan setiap akuntan publik bisa bekerja secara profesional. Kedepannya Kementerian Keuangan, dalam hal ini adalah Direktorat Jenderal Pajak mempercayakan audit laporan keuangan perusahaan itu kepada akuntan publik. Jadi nantinya bagi setiap wajib pajak yang laporan keuangannya sudah diaudit oleh akuntan publik dan statusnya baik, maka laporan keuangan itu tidak akan diperiksa lagi oleh Ditjen Pajak karena  akuntan publik dipercaya mampu dan dapat memberikan laporan yang benar  sehingga dengan demikian Ditjen Pajak hanya tinggal berfokus pada perusahaan yang memang bermasalah.
 4.   Regulasi dalam rangka Penegakan Etika Kantor Akuntan Publik
Setiap orang yang melakukan tindakan yang tidak etis maka perlu adanya penanganan terhadap tindakan tidak etis tersebut. Tetapi jika pelanggaran serupa banyak dilakukan oleh anggota masyarakat atau anggota profesi maka hal tersebut perlu dipertanyakan apakah aturan-aturan yang berlaku masih perlu tetap dipertahankan atau dipertimbangkan untuk dikembangkan dan disesuaikan dengan perubahan dan perkembangan lingkungan.
Secara umum kode etik berlaku untuk profesi akuntan secara keselurahan kalau melihat kode etik akuntan Indonesia isinya sebagian besar menyangkut profesi akuntan publik. Padahal IAI mempunyai kompartemen akuntan pendidik, kompartemen akuntan manajemen disamping kompartemen akuntan publik. Perlu dipikir kode etik yang menyangkut akuntan manajemen, akuntan pendidik, akuntan negara (BPKP, BPK, pajak).
Kasus yang sering terjadi dan menjadi berita biasannya yang menyangkut akuntan publik. Kasus tersebut bagi masyarakat sering diangap sebagai pelanggaran kode etik, padahal seringkali kasus tersebut sebenarnya merupakan pelanggaran standar audit atau pelanggaran terhadap SAK.
Terlepas dari hal tersebut diatas untuk dapat melakukan penegakan terhadap kode etik ada beberapa hal yang harus dilakukan dan sepertinya masih sejalan dengan salah satu kebijakan umum pengurus IAI periode 1990 s/d 1994yaitu :
1)         Penyempurnaan kode etik yang ada penerbitan interprestasi atas kode etik yang ada baik sebagai tanggapan atas kasus pengaduan maupun keluhan dari rekan akuntan atau masyarakat umum. Hal ini sudah dilakukan mulai dari seminar pemutakhiran kode etik IAI, hotel Daichi 15 juni 1994 di Jakarta dan kongres ke-7 di Bandung dan masih terus dan sedang dilakukan oleh pengurus komite kode etik saat ini.
2)         Proses peradilan baik oleh badan pengawas profesi maupun dewan pertimbangan profesi dan tindak lanjutnya (peringatan tertulis, pemberhentian sementara dan pemberhentian sebagai anggota IAI).
3)      Harus ada suatu bagian dalam IAI yang mengambil inisiatif untuk mengajukan pengaduan baik kepada badan pengawasan profesi atas pelanggaran kode etik meskipun tidak ada pengaduan dari pihak lain tetapi menjadi perhatian dari masyarakat luas.
5.   Peer Review
Peer review adalah proses pengaturan-diri oleh profesi atau proses evaluasi yang melibatkan individu-individu berkualitas yang relevan dalam bidang . Metode peer review bekerja untuk mempertahankan standar, meningkatkan kinerja dan memberikan kredibilitas. Dalam dunia akademis peer review sering digunakan untuk menentukan sebuah makalah akademis ’s kesesuaian untuk publikasi .
Peer review dapat dikategorikan oleh jenis aktivitas dan oleh medan atau profesi di mana kegiatan terjadi. Secara umum, mereka yang terlibat dalam organisasi profesi atau khusus diberikan mengidentifikasi proses tertentu mereka oleh “peer review” istilah generik. Jadi, bahkan ketika kualifikasi diterapkan unsur-unsur dari peer review mungkin tampak tidak konsisten.

Sumber:
http://ariesta-riris.blogspot.com/2012/11/etika-dalam-kantor-akuntan-publik.html
http://riyanikusuma.wordpress.com/
http://en.wikipedia.org/wiki/Peer_review

Etika dalam Auditing

Etika dalam Auditing

1.   Kepercayaan Publik
Kepercayaan masyarakat umum  sebagai pengguna jasa audit atas independen sangat penting bagi perkembangan profesi akuntan publik. Kepercayaan masyarakat akan menurun jika terdapat bukti bahwa independensi auditor ternyata berkurang, bahkan kepercayaan masyarakat juga bisa menurun disebabkan oleh keadaan mereka yang berpikiran sehat (reasonable) dianggap dapat mempengaruhi sikap independensi tersebut. Untuk menjadi independen, auditor harus secara intelektual jujur, bebas dari setiap kewajiban terhadap kliennya dan tidak mempunyai suatu kepentingan dengan kliennya baik merupakan manajemen perusahaan atau pemilik perusahaan. Kompetensi dan independensi yang dimiliki oleh auditor dalam penerapannya akan terkait dengan etika. Akuntan mempunyai kewajiban untuk menjaga standar perilaku etis tertinggi mereka kepada organisasi dimana mereka bernaung, profesi mereka, masyarakat dan diri mereka sendiri dimana akuntan mempunyai tanggung jawab menjadi kompeten dan untuk menjaga integritas dan obyektivitas mereka.
2.   Tanggung Jawab Auditor kepada Publik
Profesi akuntan di dalam masyarakat memiliki peranan yang sangat penting dalam memelihara berjalannya fungsi bisnis secara tertib dengan menilai kewajaran dari laporan keuangan yang disajikan oleh perusahaan. Ketergantungan antara akuntan dengan publik menimbulkan tanggung jawab akuntan terhadap kepentingan publik. Dalam kode etik diungkapkan, akuntan tidak hanya memiliki tanggung jawab terhadap klien yang membayarnya saja, akan tetapi memiliki tanggung jawab juga terhadap publik. Kepentingan publik didefinisikan sebagai kepentingan masyarakat dan institusi yang dilayani secara keseluruhan. Publik akan mengharapkan akuntan untuk memenuhi tanggung jawabnya dengan integritas, obyektifitas, keseksamaan profesionalisme, dan kepentingan untuk melayani publik. Para akuntan diharapkan memberikan jasa yang berkualitas, mengenakan jasa imbalan yang pantas, serta menawarkan berbagai jasa dengan tingkat profesionalisme yang tinggi. Atas kepercayaan publik yang diberikan inilah seorang akuntan harus secara terus-menerus menunjukkan dedikasinya untuk mencapai profesionalisme yang tinggi.
Ketika auditor menerima penugasan audit terhadap sebuah perusahaan, hal ini membuat konsequensi terhadap auditor untuk bertanggung jawab kepada publik. Penugasan untuk melaporkan kepada publik mengenai kewajaran dalam gambaran laporan keuangan dan pengoperasian perusahaan untuk waktu tertentu memberikan ”fiduciary responsibility” kepada auditor untuk melindungi kepentingan publik dan sikap independen dari klien yang digunakan sebagai dasar dalam menjaga kepercayaan dari publik.
3.   Tanggung Jawab Dasar Auditor
The Auditing Practice Committee, yang merupakan cikal bakal dari Auditing Practices Board, ditahun 1980, memberikan ringkasan (summary) mengenai tanggung jawab auditor:
1. Perencanaan, Pengendalian dan Pencatatan. Auditor perlu merencanakan, mengendalikan dan mencatat pekerjannya.
2. Sistem Akuntansi. Auditor harus mengetahui dengan pasti sistem pencatatan dan pemrosesan transaksi dan menilai kecukupannya sebagai dasar penyusunan laporan keuangan.
3. Bukti Audit. Auditor akan memperoleh bukti audit yang relevan dan reliable untuk memberikan kesimpulan rasional.
4. Pengendalian Intern. Bila auditor berharap untuk menempatkan kepercayaan pada pengendalian internal, hendaknya memastikan dan mengevaluasi pengendalian itu dan melakukan compliance test.
5. Meninjau Ulang Laporan Keuangan yang Relevan. Auditor melaksanakan tinjau ulang laporan keuangan yang relevan seperlunya, dalam hubungannya dengan kesimpulan yang diambil berdasarkan bukti audit lain yang didapat, dan untuk memberi dasar rasional atas pendapat mengenai laporan keuangan.
4.   Independensi Auditor
Independensi merupakan dasar dari profesi auditing. Hal itu berarti auditor akan bersifat netralterhadap entitas, dan oleh karena itu akan bersifat objektif. Publik dapat mempercayai fungsi auditkarena auditor bersikap tidak memihak serta mengakui adanya kewajiban untuk bersiikap adil. Entitasadalah klien auditor, namun CPA memiliki tanggung jawab yang lebih besar kepada para penggunalaporan auditor yang jelas telah diketahui. Auditor tidak boleh memposisikan diri atau pertimbangannyadi bawah kelompok apapun dan siapapun. Independensi, integritas dan objektivitas auditor mendorongpihak ketiga untuk menggunakan laporan keuangan yang tercakup dalam laporan auditor dengan rasa yakin dan percaya sepenuhnya.
5.   Peraturan Pasar Modal dan Regulator mengenai Independensi Akuntan Publik
Pada tanggal 28 Pebruari 2011, Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan (Bapepam dan LK) telah menerbitkan peraturan yang mengatur mengenai independensi akuntan yang memberikan jasa di pasar modal, yaitu dengan berdasarkan Peraturan Nomor VIII.A.2 lampiran Keputusan Ketua Bapepam dan LK Nomor : Kep-86/BL/2011 tentang Independensi Akuntan Yang Memberikan Jasa di Pasar Modal.
Seperti yang disiarkan dalam Press Release Bapepam LK pada tanggal 28 Pebruari 2011, Peraturan Nomor VIII.A.2 tersebut merupakan penyempurnaan atas peraturan yang telah ada sebelumnya dan bertujuan untuk memberikan kemudahan bagi Kantor Akuntan Publik atau Akuntan Publik dalam memberikan jasa profesional sesuai bidang tugasnya. Berikut adalah keputusannya :
KEPUTUSAN KETUA BADAN PENGAWAS PASAR MODAL
NOMOR: KEP- 20 /PM/2002
TENTANG
INDEPENDENSI AKUNTAN YANG MEMBERIKAN JASA AUDIT
DI PASAR MODAL
Pasal 1
Ketentuan mengenai Independensi Akuntan yang Memberikan Jasa Audit di Pasar Modal, diatur dalam PERATURAN NOMOR VIII.A.2 : INDEPENDENSI AKUNTAN YANG MEMBERIKA JASA AUDIT DI PASAR MODAL:
1. Definisi dari istilah-istilah pada peraturan ini adalah :
a. Periode Audit dan Periode Penugasan Profesional :
1) Periode Audit adalah periode yang mencakup periode laporan keuangan yang diaudit atau yang direview; dan
2) Periode Penugasan Profesional adalah periode penugasan untuk mengaudit atau mereview laporan keuangan klien atau untuk menyiapkan laporan kepada Bapepam.
b. Anggota Keluarga Dekat adalah istri atau suami, orang tua, anak, baik didalam maupun diluar tanggungan, dan saudara kandung.
c. Fee Kontinjen adalah fee yang ditetapkan untuk pelaksanaan suatu jasa profesional yang hanya akan dibebankan apabila ada temuan atau hasil tertentu dimana jumlah fee tergantung pada temuan atau hasil tertentu tersebut. Fee dianggap tidak kontinjen jika ditetapkan oleh pengadilan atau badan pengatur atau dalam hal perpajakan, jika dasar penetapan adalah hasil penyelesaian hukum atau temuan badan pengatur.
d. Orang Dalam Kantor Akuntan Publik adalah:
1) Orang yang termasuk dalam Tim Penugasan Audit yaitu sema rekan, pimpinan, dan karyawan profesional yang berpartisipasi dalam audit, review, atau penugasan atestasi dari klien, termasuk mereka yang melakukan penelaahan lanjutan atau yang bertindak sebagai rekan ke dua selama Periode Audit atau penugasan atestasi tentang isu-isu teknis atau industri khusus, transaksi, atau kejadian penting;
2) Orang yang termasuk dalam rantai pelaksana/perintah yaitu semua orang yang:
a) mengawasi atau mempunyai tanggung jawab manajemen secara langsung terhadap audit;
b) mengevaluasi kinerja atau merekomendasikan kompensasi bagi rekan dalam penugasan audit; atau
c) menyediakan pengendalian mutu atau pengawasan lain atas audit; atau
3) Setiap rekan lainnya, pimpinan, atau karyawan profesional lainnya dari Kantor Akuntan Publik yang telah memberikan jasa-jasa non audit kepada klien.
e. Karyawan Kunci yaitu orang-orang yang mempunyai wewenang dan tanggung jawabuntuk  merencanakan, memimpin, dan mengendalikan kegiatan perusahaan pelapor yang meliputi anggota Komisaris, anggota Direksi, dan manajer dari perusahaan.
2. Jangka waktu Periode Penugasan Profesional:
a. Periode Penugasan Profesional dimulai sejak dimulainya pekerjaan lapangan atau penandatanganan penugasan, mana yang lebih dahulu.
b. Periode Penugasan Profesional berakhir pada saat tanggal laporan Akuntan atau pemberitahuan secara tertulis oleh Akuntan atau klien kepada Bapepam bahwa penugasa telah selesai, mana yang lebih dahulu.
3. Dalam memberikan jasa profesional, khususnya dalam memberikan opini atau penilaian, Akuntan wajib senantiasa mempertahankan sikap independen. Akuntan tidak independen apabila selama Periode Audit dan selama Periode Penugasan Profesionalnya, baik Akuntan, Kantor Akuntan Publik, maupun Orang Dalam Kantor Akuntan Publik :
a. mempunyai kepentingan keuangan langsung atau tidak langsung yang material pada klien, seperti :
1) investasi pada klien; atau
2) kepentingan keuangan lain pada klien yang dapat menimbulkan bentura kepentingan.
b. mempunyai hubungan pekerjaan dengan klien, seperti :
1) merangkap sebagai Karyawan Kunci pada klien;
2) memiliki Anggota Keluarga Dekat yang bekerja pada klien sebagai Karyawan Kunci dalam bidang akuntansi dan keuangan;
3) mempunyai mantan rekan atau karyawan profesional dari Kantor Akuntan Publik yang bekerja pada klien sebagai Karyawan Kunci dalam bidang akuntansi dan keuangan, kecuali setelah lebih dari 1 (satu) tahun tidak bekerja lagi pada Kantor Akuntan Publik yang bersangkutan; atau
4) mempunyai rekan atau karyawan profesional dari Kantor Akuntan Publik yang sebelumnya pernah bekerja pada klien sebagai Karyawan Kunci dalam bidang akuntansi dan keuangan, kecuali yang bersangkutan tidak ikut melaksanakan audit terhadap klien tersebut dalam Periode Audit.
c. mempunyai hubungan usaha secara langsung atau tidak langsung yang material dengan klien, atau dengan karyawan kunci yang bekerja pada klien, atau dengan pemegang saham utama klien. Hubungan usaha dalam butir ini tidak termasuk hubungan usaha dalam hal Akuntan, Kantor Akuntan Publik, atau Orang Dalam Kantor Akuntan Publik memberikan jasa audit atau non audit kepada klien, atau merupakan konsumen dari produk barang atau jasa klien dalam rangka menunjang kegiatan rutin.
d. memberikan jasa-jasa non audit kepada klien seperti :
1) pembukuan atau jasa lain yang berhubungan dengan catatan akuntansi klien;
2) atau laporan keuangan;
3) desain sistim informasi keuangan dan implementasi;
4) penilaian atau opini kewajaran (fairness opinion);
5) aktuaria;
6) audit internal;
7) konsultasi manajemen;
8) konsultasi sumber daya manusia;
9) konsultasi perpajakan;
10) Penasihat Investasi dan keuangan; atau
11) jasa-jasa lain yang dapat menimbulkan benturan kepentingan
e. memberikan jasa atau produk kepada klien dengan dasar Fee Kontinjen atau komisi, atau menerima Fee Kontinjen atau komisi dari klien.
4. Sistim Pengendalian Mutu
Kantor Akuntan Publik wajib mempunyai sistem pengendalian mutu dengan tingkat keyakinan yang memadai bahwa Kantor Akuntan Publik atau karyawannya dapat menjaga sikap independen dengan mempertimbangkan ukuran dan sifat praktik dari Kantor Akuntan Publik tersebut.
5. Pembatasan Penugasan Audit
a. Pemberian jasa audit umum atas laporan keuangan klien hanya dapat dilakukan oleh Kantor Akuntan Publik paling lama untuk 5 (lima) tahun buku berturut-turut dan oleh seorang Akuntan paling lama untuk 3 (tiga) tahun buku berturut-turut.
b. Kantor Akuntan Publik dan Akuntan dapat menerima penugasan audit kembali untuk klien tersebut setelah 3 (tiga) tahun buku secara berturut-turut tidak mengaudit klien tersebut.
c. Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan huruf b di atas tidak berlaku bagi laporan keuangan interim yang diaudit untuk kepentingan Penawaran Umum.
6. Ketentuan Peralihan
a. Kantor Akuntan Publik yang telah memberikan jasa audit umum untuk 5 (lima) tahun buku berturut-turut atau lebih dan masih mempunyai perikatan audit umum untuk tahun buku berikutnya atas laporan keuangan klien, pada saat berlakunya peraturan ini hanya dapat melaksanakan perikatan dimaksud untuk 1 (satu) tahun buku berikutnya.
b. Akuntan yang telah memberikan jasa audit umum untuk 3 (tiga) tahun buku berturut-turut atau lebih dan masih mempunyai perikatan audit umum untuk tahun buku berikutnya atas laporan keuangan klien, pada saat berlakunya peraturan ini hanya dapat melaksanakan perikatan dimaksud untuk 1 (satu) tahun buku berikutnya.
7. Dengan tidak mengurangi ketentuan pidana di bidang Pasar Modal, Bapepam berwenang mengenakan sanksi terhadap setiap pelanggaran ketentuan peraturan ini, termasuk Pihak yang menyebabkan terjadinya pelanggaran tersebut.

Sumber :
-http://riyanikusuma.wordpress.com/
-http://nielam-tugas.blogspot.com/2012/12/bab-6-etika-dalam-auditing.html

Review Jurnal "ANALISIS DAMPAK DISCRETIONARY ACCRUALS TERHADAP NILAI PERUSAHAAN YANG DIMODERASI DENGAN PENERAPAN GOOD CORPORATE GOVERNANCE (GCG) "



Pada pembahasan kali ini, saya akan mereview jurnal skripsi yang disusun oleh Lila Anggraini, yang saya akses pada Sabtu, 30/11/2013. pkl 21:40.
Berikut Link Dowload jurnal : http://ejournal.unri.ac.id/index.php/JAB/article/view/1595/1570


[84] Lila Anggraini Analisis Dampak Discretionary Accruals terhadap Nilai Perusahaan
 ANALISIS DAMPAK DISCRETIONARY ACCRUALS TERHADAP NILAI PERUSAHAAN YANG DIMODERASI DENGAN PENERAPAN GOOD CORPORATE GOVERNANCE (GCG)
Lila Anggraini1
ABSTRACT
This research examines the influence of earnings management on the value of a firm. Earnings management emphasises the importance of owners authorising the management of company to professionals who understand and are capable of running business. However, this separation has a negative side, the freedom and authority of management to maximize profit will lead to the maximisation of management’s self-interest whilst the owners bear the costs. This facts creats an information asymmetry between management and other stakeholders. Discretionary accruals are utilised as the measure of earnings management. Not only does this study contribute to the examination of influence of discretionary accruals on corporate value, but it also uses a moderating variable, which is the implementation of Good Corporate Governance (GCG). Empirically, the implementation of GCG. This research compares the extent to which the role of Good Corporate Governance implementation in the efforts to impede the prevalence of earnings management. Minimised earnings management can increase the firm value; hence, the effect of earnings management proxied by discretionary accruals on firm value is negatively stronger for the company implementing GCG.
Keywords: Earning management, discretionary accruals, corporate value, Good Corporate Governance (GCG)
ABSTRAK
Manajemen laba menekankan pada pentingnya pemilik perusahaan menyerahkan pengelolaan perusahaan kepada professional yang lebih mengerti dan memahami cara untuk menjalankan suatu usaha. Namun pemisahan ini mempunyai sisi negatif, keleluasaan manajemen untuk memaksimalkan laba akan mengarah pada proses memaksimalkan kepentingan manajemen sendiri dengan biaya yang harus ditanggung pemilik perusahaan. Kondisi ini mengakibatkan terjadinya asimetri informasi antara manajemen dan pihak lain. Discretionary accruals digunakan sebagai ukuran manajemen laba. Kontribusi penelitian ini adalah tidak hanya menguji pengaruh antara discretionary accruals terhadap nilai perusahaan saja melainkan menggunakan variabel moderasi yaitu penerapan tata kelola korporasi yang baik (Good Corporate Governance/ GCG). Penelitian ini ingin membandingkan seberapa besar peran penerapan GCG terhadap upaya menekan terjadinya manajemen laba. Upaya manajemen laba yang dapat ditekan dapat meningkatkan nilai perusahaan. Dengan demikian, dampak dari manajemen laba yang diukur dengan discretionary accruals terhadap nilai perusahaan memiliki pengaruh kuat (negatif) untuk perusahaan yang menerapkan GCG.
Kata Kunci: Manajemen laba, discretionary accruals, nilai perusahaan, tata kelola korporasi yang baik
1Jurusan Akuntansi, Fakultas Ekonomi, Universitas Riau, Kampus Bina Widya Km. 12.5 Simpang Baru, Pekanbaru 28293. Telp. 0761-63277. Email: lilapku@yahoo.com.JURNAL APLIKASI BISNIS Vol. 1 No. 2, April 2011 [85]
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Selama sepuluh tahun terakhir ini, istilah tata kelola korporasi yang baik (Good Corporate Governance GCG) semakin populer. Tidak hanya populer, istilah tersebuit juga ditempatkan di posisi teratas. Isu GCG itu sendiri muncul sejak diperkenalkannya pemisahan antara kepemilikan dan pengelolaan perusahaan. Tantangan terkini yang dihadapi adalah masih belum dipahaminya secara luas prinsip-prinsip praktek GCG oleh komunitas bisnis dan publik pada umumnya.GCG bisa memberikan kontribusi yang positif untuk kemajuan sebuah organisasi. Hal itu pun sudah bisa ditunjukkan oleh perusahaan-perusahaan besar di dunia. Tetapi mengapa justru praktek GCG di Indonesia mengalami kegagalan?. Atas dasar kenyataan inilah, peneliti ingin meneliti seberapa besar pengaruh praktek GCG di Indonesia terhadap earnings management dan nilai perusahaan dengan membandingkan antara perusahaan yang menerapkan GCG dan perusahaan yang tidak menerapkan GCG.
Rekayasa kinerja yang dikenal dengan istilah earnings management ini sejalan dengan teori agensi (agency theory) yang menekankan pentingnya pemilik perusahaan (principles) menyerahkan pengelolaan perusahaan kepada professional (agents) yang lebih mengerti dan memahami cara untuk menjalankan suatu usaha, namun pemisahan ini mempunyai sisi negatif. Keleluasan manajemen untuk memaksimalkan laba akan mengarah pada proses memaksimalkan kepentingan manajemen sendiri dengan biaya yang harus ditanggung pemilik perusahaan.
Discretionary accruals sering digunakan sebagai proksi manajemen laba oportunistik dalam beberapa penelitian sebelumnya sesuai dengan konteksnya masing-masing, tetapi manajer mungkin mempunyai motivasi lain untuk mencatat discretionary accruals yaitu untuk maksud pemberian sinyal mengenai kinerja perusahaan kini serta yang akan datang.
Menurut Chen and Cheng (2002) mengasumsikan manajer mempunyai dua motivasi untuk mencatat discretioanry accruals, yaitu: pertama, motivasi signaling/kinerja yaitu bahwa manajemen mencatat discretionary accruals untuk mencerminkan secara lebih baik impak kejadian-kejadian ekonomi penting terhadap laba akuntansi. Kedua, motivasi manajemen laba oprtunistik yaitu bahwa manajemen mencata discretionary accruals untuk memaksimalkan manfaat yang mereka peroleh dengan tidak mengungkapkan informasi privat.
Rekayasa kinerja sebenarnya merupakan fenomena yang logis karena kesuperioran manajemen dalam menguasai informasi seputar perusahaan dibandingkan pihak lain. Dalam kerangka economy recovery, rekayasa kinerja ini tidak sejalan dengan semangat GCG yang menekankan pentingnya akurasi dalam melaporkan informasi mengeai perusahaan. Keakuratan ini penting agar informasi yang disampaikan dapat menggambarkan nilai fundamental perusahaan yang sesungguhnya, sehingga pemakai laporan keuangan dapat membuat keputusan yang lebih tepat.
Secara teoritis rekayasa yang dikenal dengan istilah earnings management ini bertujuan untuk menyesatkan pemakai laporan keuangan yang ingin mengetahui kinerja perusahaan dan untuk mempengaruhi hasil kontraktual yang mengandalkan angka-angka akuntansi. Rekayasa kinerja ini tidak sejalan dengan semangat dan prinsip GCG. Penerapan prinsip GCG di Indonesia diharapkan mempunyai pengaruh terhadap kualitas laporan keuangan yang tercermin dari penurunan tingkat rekayasa yang [86] Lila Anggraini Analisis Dampak Discretionary Accruals terhadap Nilai Perusahaan

dilakukan manajemen. Praktek GCG yang berhasil dapat dilihat dari adanya penekanan earnings management di sebuah perusahaan tertentu.
Perumusan Masalah
Permasalahan dalam penelitian dirumuskan dalam dua bentuk yaitu sebagai berikut :
1. Apakah discretionary accruals berpengaruh terhadap nilai perusahaan?
2. Apakah pengaruh discretionary accruals terhadap nilai perusahaan berbeda pada perusahaan yang menerapkan GCG dengan perusahaan yang tidak menerapkan GCG?

Tujuan dan Manfaat Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk menyelidiki dampak penerapan GCG terhadap pengaruh discretionary accruals terhadap nilai perusahaan.
Manfaat penelitian adalah sebagai berikut :
1. Bagi Peneliti, dapat memberikan jawaban atas pertanyaan peneliti mengenai arti penting GCG karena “kepopulerannya” sekaligus dapat menambah pengetahuan peneliti mengenai penerapan GCG di Indonesia.
2. Bagi akademisi, sebagai pengetahuan di bidang manajemen keuangan khususnya mengenai earnings management dan pemahaman mengenai GCG. Kontribusi penelitian ini adalah menunjukkan bahwa pengetahuan mengenai earnings management ini selamanya tidak sejalan dengan isu yang terjadi yaitu peranan dari GCG adalah sebagai penghambat terjadinya earnings management.
3. Bagi praktisi: menunjukkan arti penting praktek GCG untuk meningkatkan nilai perusahaan dan GCG dijadikan salah satu alat sebagai pendeteksi terjadinya earnings management di dalam perusahaan.

TINJAUAN PUSTAKA
Nilai Perusahaan
Nilai perusahaan dapat dilihat dari pendekatan market value of equity yang menunjukkan kinerja perusahaan yang berasal dari penerbitan saham. Nilai perusahaan yang tinggi menunjukkan kepercayaan investor kepada perusahaan yang tinggi pula. corporate value mencerminkan juga GCG. Sejalan dengan upaya peningkatan corporate value, GCG juga harus diterapkan demi meningkatkan kualitas keterbukaan informasi keuangan.
Good Corporate Governance (GCG)
Isu GCG itu sendiri muncul sejak diperkenalkannya pemisahan antara kepemilikan dan pengelolaan perusahaan. Tantangan terkini yang dihadapi adalah masih belum dipahaminya secara luas mengenai prinsip-prinsip praktek GCG oleh komunitas bisnis dan publik pada umumnya.dalam penerapan GCG di Indonesia, seluruh pemangku kepentingan turut ikut serta. Komite Nasional Kebijakan GCG yang di awal tahun 2005 diubah menjadi Komite Nasional Kebijakan Governance telah menerbitkan Pedoman GCG pada bulan Maret 2001.
Seiring dalam rangka economy recovery, pemerintah Indonesia dan International Monetary Fund (IMF) memperkenalkan dan mengintroduksir konsep GCG sebagai tata cara kelola perusahaan yang sehat (Sulistyanto dan Lidyah, 2002). GCG secara defenitif JURNAL APLIKASI BISNIS Vol. 1 No. 2, April 2011 [87]
merupakan sistem yang mengatur dan mengendalikan perusahaan untuk menciptakan sistem yang mengatur dan mengendalikan perusahaan untuk menciptakan nilai tambah (value added) untuk semua stakeholders.
Sejalan dengan penelitian Chtourou et al. (2001), peneliti ingin menguji apakah penerapan prinsip GCG mempunyai pengaruh terhadap kualitas laporan keuangan yang diukur dari keberhasilan ditekannya upaya rekayasa kinerja yang dilakukan manajemen. Secara empiris bAhwa penerapan prinsip GCG dapat meningkatkan kualitas laporan keuangan dan menjadi constraint bagi aktivitas rekayasa kinerja yang dilakukan manajemen. Hal ini dapat dilihat dari adanya pengaruh antara discretionary accruals terhadap nilai perusahaan.

Akrual Pada Akuntansi
Non Discretionary Accruals
Manajemen yang mempunyai motivasi signaling mencatat discretionary accruals untuk mencerminkan secara lebih baik impak kejadian ekonomi pokok terhadap kinerja perusahaan. Manajemen mencatat discretionary accruals untuk menyampaikan informasi privat mengenai kemampulabaan perusahaan yang akan datang, atau agar laba menjadi ukuran yang lebih dapat dipercaya dan tepat waktu mengenai kinerja perusahaan kini daripada laba non discretionary accruals.
Non discretionary accruals disebut juga dengan normal accruals, yang berarti bahwa non discretionary accruals hanya mengakui transaksi untuk kondisi yang normal saja yaitu kondisi yang sudah ada di dalam kebijakan manajemen perusahaan. Oleh karena itu, laba berdasarkan non discretionary accruals tidak bisa mendeteksi transaksi diluar kondisi yang normal atau di luar kebijakan manajemen perusahaan. Oleh karena itu, untuk mendeteksi earnings management berdasarkan non discretionary accruals jauh lebih mudah dibandingkan berdasarkan discretionary accruals karena semua transaksi sesuai dengan kebijakan manajemen perusahaan.
Discretionary Accruals
Discretionary accruals disebut juga dengan abnormal accruals sering digunakan sebagai proksi manajemen laba opurtunistik dalam beberapa penelitian sebelumnya sesuai dengan konteksnya masing-masing, tetapi manajer mungkin mempunyai motivasi lain untuk mencatat discretionary accruals yaitu untuk memberikan sinyal mengenai kinerja perusahaan saat ini dan masa yang akan datang. Menurut chen and cheng (2002) manajer mempunyai dua motivasi untuk mencatat discretionary accruals yaitu: pertama, motivasi kinerja yaitu manajemen mencatat discretionary accruals untuk mencerminkan laba secara lebih baik dampak kejadian-kejadian ekonomi penting terhadap laba. Kedua, motivasi manajemen laba opurtunistik yaitu bahwa manajemen mencatat discretionary accruals untuk memaksimalkan manfaat yang mereka peroleh dengan tidak bermaksud untuk mengungkapkan informasi privat.
Kaitan Discretionary Accruals dan GCG dengan Nilai Perusahaan
Konsep GCG memberikan kerangka untuk mendefinisikan tujuan perusahaan dan bagaimana untuk mencapainya dan bagaimana untuk mengendalikan kinerjanya. GCG harus cukup menstimulasi boards of director dan manajemen level atas untuk mengejar tujuannya yang merupakan kepentingan perusahaan dfan pemegang sahamnya serta untuk memfasilitasi kendali yang efisien dan selanjutnya mendorong prioritasi komitmen etis yang dibuat untuk seluruh pemegang saham dan stakeholders lain [88] Lila Anggraini Analisis Dampak Discretionary Accruals terhadap Nilai Perusahaan
untuk meningkatkan nilai perusahaan (Mendes-da-Silva and alves, 2004).
Manajemen dapat meningkatkan nilai perusahaan melalui pengungkapan informasi kepada publik. Rekayasa kinerja sebenarnya merupakan fenomena yang logis karena kesuperioran manajemen dalam menguasai informasi seputar perusahaan dibandingkan pihak lain. Dalam rangka economy recovery, rekayasa kinerja ini tidak sejalan dengan semangat GCG yang menekankan pentingnya akurasi dalam melaporkan informasi mengenai perusahaan. Maka dari itu, penerapan GCG dapat meningkatkan kualitas laporan keuangan yang dapat dilihat dari pengaruh antara discretionary accruals terhadap nilai perusahaan.
Penelitian Sebelumnya
Asimetry informasi antara manajemen dan pemakai laporan keuangan memberi kesempatan dan mendorong manajemen bersikap opurtunis dengan memperbaiki profil laba akuntansi (Richardson, 1998: Chambers, 1999). Sikap opurtunis ini tidak sejalan dengan semangan GCG, karena rekayasa kinerja mengakibatkan informasiyang disampaikan menjadi tidak akurat dan tidak menggambarkan nilai fundamental perusahaan. Sikap opurtunis ini dinilai sebagai sikap curang (fraud) manajemen yang diimplikasikan dalam laporan keuangannya pada saat menghadapi intertemporal choice (beneish, 2001).
Meskipun logis dilakukan oleh manajemen karena kesuperiorannya dalam menguasai informasi, rekayasa kinerja ini tidak sejalan dengan semangat GCG yang menekankan pentingnya hak pemakai laporan keuangan untuk memperoleh informasi yang akurat dan kewajiban perusahaan untuk memberikan informasi yang akurat. Chtorou et al. (2001) dalam penelitiannya yang menguji apakah praktek corporate governance mempunyai pengaruh yang positif terhadap kualitas informasi keuangan yang dipublikasikan, menyimpulakn bahwa penerapan prinsip GCG akan menjadi kendala aktivitas earnings management.
Banyak penelitian yang menguji hubungan antara karakteristik komite audit (audit committee) dan dewan komisaris (board of directors) yang merupakan syarat penting dalam GCG dengan upaya earnings management sebagai ukuran keberhasilan penerapan prinsip GCG (Chtrou et al. 2001). Carcello and Neal (2000) dengan menguji proporsi independensi komite audit menyimpulkan adanya hubungan positif antara komite tersebut dengan berkurangnya tekanan manajemen terhadap komite audit pada saat menyusun laporan keuangan. Independensi komite audit merupakan salah satu ukuran penerapan prinsip GCG selain kompetensi dan aktivitas komite audit.
Sementara dengan menguji kompetensi anggota komite audit, MsMullen and Randghrun (1996) menyimpulkan adanya hubungan positif antara kompetensi tersebut dengan menurunnya kemungkinan dilakukannya earnings management. Selain komite audit, dewan komisaris juga merupakan pihak yang mempunyai peranan penting dalam menyediakan laporan keuangan yang reliable.
Sejalan dengan hal tersebut Beasly (1996) and Abbots et al. (2000) menguji apakah besarnya dewan komisaris mempunyai hubungan yang positif dengan kemungkinan kecurangan dalam pelaporan keuangan. Dewan komisaris yang independen mempunyai pengawasan yang lebih baik terhadap manajemen, sehingga mempengaruhi kemungkinan kecurangan dalam menyajikan laporan keuangan yang dilakukan manajemen (Chtourou et al. 2001). Beasly (1996) juga menemukan hubungan negatif antara besarnya non-JURNAL APLIKASI BISNIS Vol. 1 No. 2, April 2011 [89]
executive members dengan tingkat kecurangan tersebut.
Terdapat beberapa penelitian yang relevan dengan penelitian ini. Hanya saja penelitian yang ada di Indonesia lebih banyak menyoroti penerapan GCG dari sudut pandang hukum. Dari penelitian tersebut ingin meneliti apakah penerapan GCG di Indonesia karena memahami peran penting GCG bagi perusahaan atau hanya karena alasan untuk menghindari sanksi hukum apabila tidak menerapkan GCG (Wibisono, 2003).
Menurut penelitian sebelumnya (Sulistyanto dan Wibisono, 2003) hanya ingin melihat perbedaan discretionary accruals perioda sebelum dan sesudah menerapkan GCG. Hasil dari penelitian tersebut adalah bahwa tidak terdapat perbedaan antara discretionary accruals sebelum dan sesudah penerapan GCG. Didalam penelitian tersebut dijelaskan mengapa tidak terdapat perbedaan antara discretionary accruals sebelum dan sesudah GCG yaitu karena perioda penelitian tersebut bertepatan dengan terjadinya krisis ekonomi di Indonesia.
Atas dasar penelitian yang dilakukan sebelumnya seperti diuraikan dimuka, maka peneliti ingin mengembangkan penelitian ini yaitu menggunakan penerapan GCG sebagai variabel moderasi. Peneliti menggabungkan ketiga variabel dengan menguji pengaruh discretionary accruals terhadap nilai perusahaan yang dimoderasi penerapan GCG. Yang menjadi acuan dari penelitian ini adalah penelitian Chahaochharia, Greinstein (2005) and Hang et al, (2002).
Pengembangan Hipotesis
Discretionary Accruals
Discretionary accruals sering digunakan sebagai proksi manajemen laba opurtunistik dalam beberapa penelitian sebelumnya sesuai dengan konteksnya masing-masing, tetapi manajer mungkin mempunyai motivasi lain untuk mencatat discretionary accruals yaitu untuk memberikan sinyal mengenai kinerja perusahaan saat ini dan masa yang akan datang. Manajemen perusahaan memiliki pengaruh yang cukup kuat terhadap keberhasilan sebuah perusahaan dalam pencapaian kinerja perusahaan karena mereka terlibat langsung di dalam setiap aktivitas perusahaan. Rekayasa kinerja yang dikenal dengan istilah earnings management ini sejalan dengan teori agensi (agency theory) yang menekankan pentingnya pemilik perusahaan (principles) menyerahkan pengelolaan perusahaan kepada profesional (agents) yang lebih mengerti dan memahami cara untuk menjalankan suatu usaha.
Pemisahan ini mempunyai sisi negatif, keleluasaan manajemen untuk memaksimalkan laba akan mengarah pada proses memaksimalkan kepentingan manajemen sendiri dengan biaya yang harus ditanggung pemilik perusahaan. Kondisi ini mengakibatkan terjadinya asimetri informasi antara manajemen dan pihak lain yang tidak mempunyai sumber dan akses yang memadai untuk memperoleh informasi yang digunakan untuk memonitor tindakan manajemen (Richardson, 1998; DuCharme et al., 2000). Rekayasa kinerja ini merupakan upaya manajemen untuk mengubah laporan keuangan dengan tujuan untuk menyesatkan pemegang saham yang ingin mengetahui kinerja ekonomi perusahaan atau untuk mempengaruhi hasil kontraktual yang mengandalkan angka-angka akuntansi yang dilaporkannya (Healy and Wahlen, 1998; DuCharme et al., 2000).
Secara prinsipil manipulasi ini tidak sejalan dengan semangat GCG. Atas dasar penjelasan diatas, peneliti ingin menguji bagaimanakah pengaruh antara earnings management dan nilai perusahaan, maka [90] Lila Anggraini Analisis Dampak Discretionary Accruals terhadap Nilai Perusahaan
berdasarkan uraian diatas, hipotesis dalam penelitian ini dirumuskan sebagai berikut:
H1: Terdapat pengaruh negatif antara discretionary accruals terhadap nilai perusahaan.
Penerapan Good Corporate Governance (GCG) sebagai Variabel Moderasi
GCG harus cukup menstimulasi boards of directors dan manajemen level atas untuk mengejar tujuannya yang merupakan kepentingan perusahaan dan pemegang sahamnya dan untuk memfasilitasi kendali yang efisien dan selanjutnya mendorong prioritasi komitmen etis yang dibuat untuk seluruh pemegang saham dan stakeholders lain untuk meningkatkan nilai perusahaan (Mendes-da-Silva and Alves, 2004). Manajemen dapat meningkatkan nilai perusahaan melalui pengungkapan informasi kepada publik.
Berdasarkan pada penelitian Sulistyanto dan Wibisono (2003), Chhaochharia, Greinstein (2005) and hang., (2005). Menurut penelitian sebelumnya (Sulistyanto dan Wibisono, 2003) hanya ingin melihat perbedaan discretionary accruals perioda sebelum dan sesudah menerapkan GCG,sedangkan menurut penelitian sebelumnya (Chhaochharia and Grinstein, 2005) yang menguji hubungan antara praktek GCG dan nilai perusahaan. Penelitian Hang et al., (2005) yang menguji hubungan antara discretionary accruaks dan nilai perusahaan.
Dengan mengacu pada ketiga penelitian diatas dan kembali kepada fokus penelitian ini adalah penerapan GCG, maka peneliti menggunakan penerapan GCG sebagai variabel moderasi karena penulis ingin menguji peranan praktek GCG di Indonesia terhadappenekanan terjadinya manajemen laba sehingga dapat meningkatkan nilai perusahaan (Chhaochhria and Grinstein, 2005). Dengan kata lain, apakah sebuah perusahaan yang menerapkan GCG dapat meningkatkan nilai perusahaan, atau malah sebaliknya yaitu tidak ada perbedaan antara perusahaan yang menerapkan GCG dengan perusahaan yang tidak menerapkan GCG.
Manajemen laba memiliki kaitan yang erat dengan kondisi internal perusahaan, begitu juga dengan GCG. Oleh karena itu, peneliti menggunakan GCG sebagai variabel pemoderasian yang memperkuat pengaruh antara manajemen laba dan nilai perusahaan. Maka berdasarkan uraian diatas, hipotesis dalam penelitian ini dirumuskan sebagai berikut :
H2 : Pengaruh discretionary accruals terhadap nilai perusahaan lebih kuat (negatif) pada perusahaan yang menerapkan GCG dibandingkan dengan perusahaan yang tidak menerapkan GCG.
Metode Penelitian
Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder berupa laporan keuangan (annual report) tahun 2001 sampai dengan tahun 2004 perusahaan-perusahaan yang listed di Bursa Efek Jakarta (BEJ). Metode pengambilan sampel yang digunakan dibagi menjadi 2 yaitu pertama, sampel untuk perusahaan yang menerapkan GCG yang diambil dalam daftar Corporate Governance Perception Index (CGPI), yaitu daftar yang dibuat oleh The Indonesian Institute of Corpoarte Governance (IICG). Perusahaan-perusahaan yang termasuk dalam daftar IICG berjumlah 52. Peneliti mengalami masalah kelengkapan pengumpulan data, sehingga jumlah sampel yang digunakan menjadi 45. Kedua, menggunakan sampel untuk perusahaan yang tidak menerapkan GCG sebanyak 114.
Penggunaan sampel dibagi menjadi 2 tersebut karena sesuai dengan fokus penelitian ini adalah pada penerapan GCG JURNAL APLIKASI BISNIS Vol. 1 No. 2, April 2011 [91]

maka peneliti membagi sampel menjadi 2 yaitu perusahaan yang menerapkan GCG yang diperoleh dari IICG dan perusahaan-perusahaan yang tidak menerapkan GCG. Data perusahaan yang menerapkan GCG diperoleh dari daftar IICG. IICG merupakan suatu institusi yang memberikan indeks kepada 52 perusahaab publik yang masuk ke dalam kriteria perusahaan-perusahaan yang menerapkan GCG untuk tahun 2001. Kriteria tersebut meliputi komitmen perusahaan terhadap corporate governance, pelaksanaan Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS), dewan komisaris, struktur direksi, hubungan dengan stakeholders, transparansi dan akuntabilitas, dan tanggapan terhadap penilaian IICG.
Definisi dan Pengukuran Variabel
Market Value of Equity
Penelitian ini menggunakan nilai perusahaan (value of equity) sebagai variabel dependen (Y). Nilai perusahaan dapat dihitung dengan dua pendekatan yaitu Market Value of Equity (MVE) dan total asset. Peneliti menggunakan pendekatan MVE sebagai proksi dari nilai perusahaan karena pendekatan MVE dapat mewakili nilai perusahaan secara representatife. Dengan pendekatan MVE dirumuskan sebagai berikut :
MVE = jumlah saham beredar x harga pasar
Discretionary Accruals
Penelitian ini menggunakan earnings management sebagai variabel independen (X)_ yang diproksi dengan discretionary accruals (DA) sebagai proksi rekayasa kinerja yang dilakukan manajemen. DA merupakan selisih antara total accruals (TA) dan nondiscretionary accruals (NDA). TA merupakan selisih antara net income (NI) dan cashflow from operations (CFO). TA dipecah menjadi komponen DA dan NDA dengan menggunakan modified Jones model (Dechow et al., 1995).
Model ini digunakan karena paling baik dalam mendeteksi rekayasa keuangan yang dilakukan manajemen dan memberikan hasil paling robust (Guay et al., 1996: Teoh et al., 1997: Rajgopal et al., 1999). Menghitung DA masing-masing perusahaan sampel untuk tahun t dengan rumus yang digunakan oleh Healy (1985) and Jones (1991).
Langkah-langkah sebagai berikut :
1. Dait = TA it – NDAit
2. TA = NI – CFO
3. Persamaan regresi :

TAit/Ait=α1(1/Ait-1)+α2(ΔREVt/Ait-1 – ΔRECt/Ait-1) + α3(PPEt/Ait-1)
4. Dari persamaan regresi diatas, akan diperoleh parameter untuk nilai NDA:

α1(1/Ait-1)+α2(ΔREVt/Ait-1 – ΔRECt/Ait-1) + α3(PPEt/Ait-1)
Peneliti menggunakan variabel moderasi yaitu penerapan GCG untuk menunjukkan pengaruhnya terhadap penerapan GCG di Indonesia yang ditunjukkan dengan penurunan tingkat rekayasa yang dilakukan manajemen. Variabel moderasi ini menggunakan variabel dummy, yaitu o untuk perusahaan yang tidak menerapkan GCG dan 1 untuk perusahaan yang menerapkan GCG dengan 2 cara yaitu interaksi dan split.
Model 1 : MVE = a1 + b1DA + €1
Model 2.A : MVE = a2 + b2DA + b#Dummy + b4DA*Dummy + €2
Model 2.B :
1. MVE = a3 + b5DA + €3
2. MVE = a4 + b6DA + €4

Keterangan :
1. MVE : market value of equity
[92] Lila Anggraini Analisis Dampak Discretionary Accruals terhadap Nilai Perusahaan

2. DA : discretionary accruals
3. Dummy : 1 untuk yang menerapkan GCG, 0 untuk yang tidak menerapkan GCG.
4. B5 : split 1 = GCG
5. B6 : split 2 = non GCG

Penelitian ini dilakukan dengan 2 cara yaitu melakukan interaksi dan split. Penelitian dilakukan dengan cara split terhadap penerapan GCG, kemudian koefisien signifikansinya dibandingkan. Perhitungan nilai t hitung diperoleh dari rumus t.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Penelitian ini ditujukan untuk menguji hubungan dan pengaruh antara discretionary accruals dengan nilai perusahaan. Selain itu, juga untuk menguji bagaimana pengaruh penerapan good corporate governance di Indonesia terhadap discretionary accruals dan nilai perusahaan. Data yang digunakan dalam penelitian ini dibagi menjadi dua yaitu pertama, data sekunder dari perusahaan-perusahaan yang terdaftar di GCPI Indonesia mulai dari tahun 2001-2004 berjumlah 52 perusahaan. Data awal yang dikurangi dengan data yang tidak lengkap dan outlier merupakan data bersih dari penelitian ini yaitu sebanyak 22 perusahaan selama 4 tahun. Kedua, data sekunder dari perusahaan-perusahaan yang tidak menerapkan GCG mulai tahun 2001-2004 berjumlah 114 perusahaan.
Data awal yang dikurangi dengan data yang tidak lengkap dan outlier merupakan data bersih dari penelitian ini yaitu sebanyak 16 perusahaan selama 4 tahun. Outlier diperoleh setelah melakukan uji asumsi klasik.
Tabel 1: Deskripsi Statistik N
Minimum
Maksimum
Mean
Deviasi Standar
NI
152
-4130,540
8345,274
412,008
1353,551
COF
152
-4347,245
17917,735
574,316
2262,364
TA
152
269,133
149168,840
8024,524
22759,970
REV
152
-119926,577
132027,539
863,353
14913,560
REC
152
-11975,084
54737,606
522,323
4748,680
AT
152
3097,000
34775,140
1835,925
4645,400
TAC
152
-13722,314
7787,093
-200,028
1560,260
NDA
152
-14722,199
5980,889
-200,691
1660,296
DA
152
-119,700
95284
662,528
7726,589
MVE
152
110,330
377,060
184,270
65,379
GCG
152
0,000
1,000
0,631
0,483
INTERAKSI
152
0,000
1,000
660,722
7726,435













 Pendapat dan Saran :
1. Penelitian selanjutnya diharapkan dapat menambah variable independen yang relevan pastinya, dan juga diharapkan dapat memasukkan variable kontrol.


Sumber :  http://ejournal.unri.ac.id/index.php/JAB/article/view/1595/1570